CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG BERISI

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG BERISI


CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG BERISI, Hasrat-Bispak40 Seluruhnya orang didalamnya perlu bertarung serta berkorban agar tidak tersisih, serta tidak seluruhnya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang gak banyak yang kenal nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, tetapi berarti tidak cuman itu. Denok pula mempunyai arti montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Waktu kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak hanya satu Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Mulai sejak kecil saya diajari menari oleh Simbok, sebab beliau sendiri waktu muda ialah seseorang penari, dan seringkali ditanggap jika ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti saat satu hari saya dan Simbok temukan Bapak menggantung diri. Rupanya Bapak mempunyai banyak hutang lantaran hilang ingatan judi, serta beliau tidak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang bersusah-hati lantaran Bapak telah tak ada, tetapi juga kebingungan lantaran beberapa waktu sesudah Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah lantaran rumah kami diambil broker judi yang berikan hutang terhadap Bapak. Kami tidak mempunyai daerah tujuan, serta uang simpanan kami tidak berapa. Simbok selanjutnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan. WAJIB 4D


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat coba mencari uang, moga-moga di situ mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya hanya alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima karena dikira pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak perlu ijazah, rival banyak. Selanjutnya selesai cukuplah lama mengamati bermacam peluang yang ada, Simbok memutus untuk memakai keterampilan kami. Dengan modal baju dan peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awali kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota sedang bersiap ujian akhir SMA atau meniti tahun mula kuliah, dan yang di dusun tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya mengawali jalani kehidupan anyar, menawarkan keterampilan seni tari bersama Simbok. Mulanya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, cuman cari keramaian di mana kami dapat mendapat beberapa lembar rupiah buat melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mempelajari jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang ingin kami hibur dengan tarian kami. Nyatanya tidak enteng pun cari uang dengan secara sebagai berikut, paling-paling yang kami peroleh hanya untuk makan kami berdua, satu atau kedua kalinya di hari itu. Dan gak di semua tempat kami dapat mendapatkan pirsawan yang mau bayar, terkadang kami justru ditendang atau dihardik. Sesudah cukuplah lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat terus bisa pirsawan dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekelilingnya. Kami juga sewa satu kamar sewaan murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, berasal dari kelompok menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat membuat mereka ingat daerah masing-masing. Hadirnya kami di situ terus disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Meski kerapkali helai-lembar itu diserahkan kepada kami kurang santun umpamanya dengan disembunyikan ke kemeja kami. Apa saya dan Simbok memanglah merayu? Entahlah ya. Saya sendiri tidak berasa elok. Sebagai anak petani yang kerap main di luar mulai sejak kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok pun dari dahulu selalu mengajarkan serta mengingati saya untuk menjaga badan kendati secara simpel, jadi kendati sawo masak, kulit saya selalu mulus dan tak jerawatan apa lagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Ditimbang-timbang betul  sich kalaupun dikatakan saya montok. Tidak tahu mengapa, walau rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap juga tubuh saya bisa-bisa ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya telah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur sampai saya terus khawatir dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya  cepat karena dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang omong bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang menganggapnya demikian. Bingungnya, meski atas bawah besar, tengahnya tidak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya kira masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu elok. Hingga usia begitu lantas beliau selalu elok. cerpensex.com Apa lagi jika sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruh orang nengok serta tidak tonton apapun kembali. Saya sendiri selalu berasa buruk lho kalaupun tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia cuman saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Disamping Simbok, beberapa orang yang umum tonton kami menari kok semua ngomong saya elok. Saya berpikir, ini mah pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertama kalinya didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk sangat. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, hingga sampai lain warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat makin tebal. Bibir pun diberi gincu warna merah oke. Saya saat itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Perlu kinclong, manglingi. Kita perlu membikin puas yang menonton."


Lambat-laun saya biasa pun memanfaatkan dandanan sesuai itu, jadi saya menjadikan guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari tercipta penganten, bentar jika nikah betulan harus seperti apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, persis seperti kemben, kain batik, dan selendang. 


Tetapi betul-betul yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang mengetahui. 2 bulan kami ada di dekat Pasar, tragedi hadir kembali. Waktu sedang nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kritis. Saya cemas, beberapa orang di sekeliling beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok tidak terbantu. Simbok mati di rumah sakit sehabis 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sebetulnya mulai sejak ketabrak pun Simbok tidak ada keinginan, namun tidak tahu mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya hingga sampai sepanjang hari. Hingga sampai tidak sampai hati saya memandangnya. Saat itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, maka dari itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara begitu. Namun apa itu betul atau tidak, saya tidak mau tahu, biarkanlah itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit dan penyemayaman, jadi perlu berutang kemanapun. Saya tidak sanggup menyelenggarakan acara beberapa macam buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana serta bertemu kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di sewaan saja sebab terlampau sendu. Barangkali setiap hari saya menangis, bersusah-hati ingat Simbok,  kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, lantaran uang udah habis dan saya pun perlu menghadapi banyak tukang tagih hutang yang tidak mau tahu kesusahan saya . Maka, satu minggu selepas Simbok disemayamkan, saya kembali persiapan untuk keluar, menari. Didepan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya agar tidak tampak beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya justru bertemu dengan ibu yang mempunyai sewa. Sang ibu tidak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak mempunyai uang, jadi saya sekedar dapat ngomong maaf, serta sang ibu jadi ngancam secara lembut. Tidak apapun tidak bayar, ucapnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya kendala untuk saya. Saya pengin upaya dahulu, kata saya, kelak akan saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG BERISI

Apesnya, hari itu pasar rada sepi, serta selepas dua jam saya baru bisa Rp5000 setelah menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala dipenuhi dengan pemikiran, bagaimana metodenya biar kelak bila pulang telah mempunyai cukup uang buat bayar kontrak. Belum hutang-hutang yang lain. Saat siang, saya tengah jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Serta di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan lagi hitung segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya kala itu sekedar mengenal beliau menjadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua dibanding Simbok, barangkali umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali 2x saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberikan kami uang tetapi beliau tidak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang pada Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri hampiri Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam dan berada di belakang. Tokonya tengah sepi, tak ada konsumen. WAJIB 4D


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan lihat saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Namun saya harus katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis untuk cost penyemayaman Simbok… saat ini saya harus bayar kontrak dua bulan…"


"Hah?" Juragan memandang saya dengan aneh, "Kamu butuh uang?"


"Tolong, Juragan," saya memohon kembali, "Saya udah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan selekas mungkin."


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang barusan ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberikan hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini  kembali kerja, Juragan," saya geram namun tidak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tak mau pinjamkan uang. "Sekedar seramnya saya tidak dapat cukup dapat uang ini hari untuk membayar kontrak. Kalaupun berjualan, saya tidak mempunyai apapun, perlu jual apa?"


Tetapi selanjutnya tatapan Juragan kok beralih menjadi aneh… Beliau dekati saya dan merengkuh saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu tidak mempunyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengen kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan terus terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengandaikan apa artinya itu.


"Bila kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya penting uang, tetapi apa perlu melalui cara sesuai ini? Tetapi bila tidak, bagaimana kembali? Yang ada saya bakalan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama pula. Saya tidak miliki alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga gak terdengaran. Jika saja tidak ketutupan bedak, kemungkinan telah tampak muka saya beralih merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak punyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya lagi melihati lantai, tidak berani mengusung kepala, namun adakalanya saya ngintip ke sana-kemari menyaksikan kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang memperlihatkan Juragan dengan orang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di tempat tidur. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mencermati sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian ngomong,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Barangkali ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tuturnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, memandang uang itu. Besar sekali untuk saya. Umumnya sepanjang hari menari saya tak pernah mendapat uang sekitar itu. Namun saya terus kuatir. Juragan mendadak ingin ambil kembali uang itu.


"Kalaupun tak mau ya telah," ucapnya dengan suara kurang suka.


Namun saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Sesuai tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum lihat saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membuat orang gairah ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar sesudah bicara itu. sumpah, baru ini kali ada laki laki jujur ngaku begitu.


Helai uang lima puluh ribu barusan ditempatkan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia imbuhkan ke… aduh! Ia berikan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ucapnya. Duh, gak yakin rasanya. Awal kalinya saya serta Simbok perlu menari sepanjang hari, hingga pegal-pegal, buat memperoleh uang kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya memperoleh uang sejumlah itu … kok ringan sekali?


"Betulan buat saya…?" Masih tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka semua," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang omong itu ke saya… Jantung saya deg-degan mendengarkannya. Juragan menarik kain kemben yang ditahan tangan saya, serta kainnya melesat demikian saja tanpa saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat peroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan memohon saya membuka  kain batik coklat yang saya gunakan.


Barangkali karena barusan saya malu dan lamban satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya dan membuka kain batik saya. Saya seketika mundur, namun tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Tidak boleh takut, Denok…" tuturnya.


Juragan pula menggenggam paha saya masih sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu lantaran sentuhan Juragan. Tangannya terus nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bergesekan dengan kulit paha saya, dan saya kian deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya selalu nyibak kain saya, hingga ke dekat pinggang… Duh, biyung, tengah diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya telah dikeluarkan dari balutnya, sedikit kembali kancut saya terlihat!


"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya masih nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa semestinya saya lepas pun?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sembari saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, namun gak tahu mengapa, saya  kok merasa nafsu saya bangun? Aduh? Kok berikut ini jadi? Juragan terus terusan memandang sekujur badan saya, sekalian beri pujian.


"Marilah donk, tidak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, jika kamu ingin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… pengen pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama